Pembangunan Kawasan Perbatasan di Entikong

Surga Yang Kembali Dirindukan di Perbatasan Kalimantan
(Pembangunan Kawasan Di Wilayah Entikong Kalimantan Barat)
Rijwan Munawan
Ilmu Pemerintahan
Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang
Email: rijwanmunawan25@gmail.com

Indonesia adalah negara yang serba kaya. Tak ayal bila negara lain menyebutnya sebagai negara “ Jamrud Khatulistiwa “ dan masih banyak lagi yang mereka katakan untuk Indonesia. Indonesia yang wilayahnya diapit oleh dua kekuatan samudera besar, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik juga diapit oleh dua kekuatan benua, yakni Australia dan Asia.  Inilah yang menjadikan Indonesia menjadi surganya dunia. Dengan wilayahnya yang berpulau-pulau berjajar bagaikan untaian sebuah tali dari Sabang sampai Merauke menjadikan Indonesia primadona dimata dunia. Selain itu, negara Indonesia juga di apit oleh negara di darat dan laut. Negara di darat seperti Malaysia, Timur Leste, dan Papua Nugini. Adapun negara yang dipisah dengan laut yakni Australia, Singapura, Sri Lanka, Malaysia, dan Filipina.[1]
Negara Indonesia memiliki 1,86 juta km2 daratan, 3,2 juta km2 lautan, dan 17.504 pulau, dihuni oleh 237 juta penduduk.[2] Selain itu memiliki panjang garis pantai ± 81.000 km, serta memiliki 17.499 pulau yang terdiri atas 5.698 pulau bernama dan 11.801 pulau belum bernama. [3] Status Indonesia sebagai negara kepulauan diperoleh melalui perjuangan diplomasi yang panjang dan status ini telah diakui dunia sejak Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) mengenai Hukum Laut Internasional atau The United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982). Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan menerbitkan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1985.[4] Dengan luasnya yang berbatasan langsung dengan beberapa negara menjadi prioritas serius bagi pemerintah, karena kawasan perbatasan sendiri menjadi serambi depan negara, baik dari segi politik, ekonomi, budaya, dan ketahanan. Kawasan perbatasan seperti paradigma dimasa lalu bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak, mengakibatkan kawasan perbatasan di beberapa daerah menjadi kurang tersentuh dinamika pembangunan. Sebagai konsekuensi logis, masyarakat setempat menjadi berorientasi kepada negara tetangga. Sebaliknya, Negara tetangga Malaysia begitu agresif dan progresif mengembangkan kawasan perbatasan, sehingga menjadi sentra pertumbuhan bisnis yang menggiurkan, yang secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berbicara kawasan perbatasan khususnya dalam pembangunan kawasan, Von Thunen dalam teorinya yakni teori Lokasi (location), berargumen bahwa lokasi sebagai variabel terikat yang mempengaruhi variabel bebasnya seperti urban growth, perekonomian, politik, bahkan budaya masyarakat. Teori ini cukup relevan digunakan sebagai dasar dalam pengembangan dan pembangunan wilayah perbatasan di Indonesia khususnya melalui pengembangan transportasi karena karakteristik wilayah perbatasan di Indonesia memiliki jarak paling jauh dari pusat kota dan berperan sebagai wilayah penyedia bahan baku. Dan melihat Indonesia yang begitu dekat dengan negara tetangga dalam hal ini Malaysia khususnya yang ada di wilayah Entikong, teori ini mampu menjawab dalam hal pembangunan kawasan perbatasan. Indonesia memiliki posisi yang strategis secara geografis dan secara potensial mampu menopang pertumbuhan ekonomi di satu sisi, namun pada sisi lain yaitu dalam perspektif perbatasan, posisi Indonesia banyak tantangannya. Luas wilayah Indonesia berimplikasi langsung pada kerentanan perbatasan Indonesia. Berbicara soal batas wilayah yang memisahkan satu negara dengan negara lain merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Tidak jarang hampir di setiap negara sering terjadi konflik antar negara lebih banyak terfokus pada persoalan perbatasan.  Padahal kawasan perbatasan bernilai strategis dalam keberhasilan pembangunan nasional dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Perbatasan seperti Malinau dan Nunukan dan Sanggau tepatnya di Kecamatan Entikong adalah tiga dari sekian  daerah di Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Daerah perbatasan ini merupakan surga bagi Indonesia juga sebagai benteng pertahanan Indonesia karena berhadapan langsung dengan negara tetangga Malaysia.
Dikatakan surga karena wilayah ini kaya akan sumber daya alam, juga kaya akan budaya. Namun sayangnya, wilayah daerah perbatasan ini baik sejak pemerintahan era Orde Baru sampai era Reformasi kurang diperhatikan, yang mana dampaknya  warga sekitar daerah perbatasan tersebut lebih bergantung kepada negara tetangga Malaysia, baik dari segi ekonomi maupun segala keperluan hidupnya. Padahal keberadaan wilayah perbatasan bukan sebagai kawasan belakang (inward looking) tetapi menjadi halaman depan negara (outward looking), seperti di Entikong Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Sejak dulu warga Entikong menunggu adanya jalan raya, alat transportasi, listrik, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai. Jika di Malaysia terdapat 120 siswa disediakan 15 guru dan 1 tenaga administrasi, kelas III dikenalkan internet, tetapi di SMPN 4 Entikong, berjarak 8 km dari Kecamatan Entikong peserta didik diajar guru asal-asalan, satu guru mengajar 111 siswa. Desa yang berpenduduk 2.795 orang, 963 buta huruf, 689 tak tamat SD, tamat SD 917 orang, diploma 10 orang, dan seorang sarjana. Di Desa Suruh, jika ingin ke Kecamatan Entikong harus melalui jalur sungai satu-satunya dengan 8 jam perjalanan biaya mencapai Rp 1,5 juta. [5] Bahkan tontonan televisi pun hanya tontonan televisi dari Malaysia, karena TVRI selaku televisi nasional Indonesia tidak terjangkau. Ini menjadi khawatir bagi Indonesia karena dikhawatirkan rasa nasionalisme kecintaan terhadap Indonesia akan luntur di kalangan warga yang ada di perbatasan itu. Dan dikhawatirkan akan seperti Sipadan dan Ligitan yang akhirnya jatuh ke tangan Malaysia karena Malaysia terlebih dahulu menghuni juga mengembangkan kedua wilayah tersebut. Masalah yang senantiasa menggelayuti wilayah perbatasan adalah masalah infrastruktur, khususnya di wilayah Kecamatan Entikong, diamana akses-akses jalan salah satunya masih menjadi permasalahan di wilayah tersebut. Minimnya akses di kawasan ini disebabkan minimnya anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk pembangunan wilayah perbatasan. Keterbatasan akses infrastruktur di Entikong sendiri terutama mencakup transportasi, energi (listrik dan BBM), komunikasi dan informasi.
Namun kini setelah pemerintahan Presiden Joko Widodo, presiden mulai memfokuskan kepada wilayah perbatasan. Pembangunan kawasan perbatasan kini dilakukan dengan mengubah arah kebijakan yang pada awalnya berorientasi pada inward looking, menjadi outward looking. Pembangunan kawasan perbatasan menjadi prioritas utama karena kawasan perbatasan seperti Entikong merupakan garda terdepan dalam ketahanan negara Indonesia. Ada banyak rencana dan janji pemerintah untuk masyarakat perbatasan. Tjahjo Kumolo[6] menyebutkan ada 50 daerah di perbatasan yang masuk dalam daftar rencana pembangunan infrastruktur daerah tertinggal, yang merupakan bagian dari program Presiden Joko Widodo.[7] Salah satu dari 50 daerah tersebut adalah wilayah Entiong yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Sejak Jokowi blusukan di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, pada Januari 2015, Presiden Jokowi berjanji akan melebarkan jalan penghubung Entikong dengan Malaysia dan membangun Wisma Indonesia setinggi tiga lantai di kawasan Entikong.[8] Dan kini janji tersebut terlaksana. Kini jalan penghubung perbatasan antara Indonesia tepatnya di Entikong dengan Malaysia diperlebar, juga pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang lebih menarik dan indah serta unik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang kalah dengan Malaysia, namun kini Malaysia yang kalah dengan Indonesia. Juga kini perekonomian warga perbatasan lebih mudah dengan akses jalan yang mendukung. Warga perbatasan kini lebih mudah dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya.
Dalam pembangun lokasi di daerah perbatasan seperti yang dikemukakan oleh Von Thunen tadi, menurut penulis bahwa pembangun lokasi khususnya di wilayah perbatasan menjadi penting karena selain sebagai pendukung dalam perekonomian, juga akan berdampak pada kehidupan warga perbatasan lainnya. Wilayah perbatasan menjadi garda terdepan keutuhan suatu negara karena berhadapan langsung dengan negara lain yang sewaktu-waktu bisa membahayakan keutuhan wilayah suatu negara, dalam hal ini Indonesia. Pembangunan lokasi wilayah perbatasan Indonesia secara umum harus  ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan kehidupan masyarakat secara adil dan merata di seluruh pelosok wilayah Indonesia, baik yang tinggal di daerah perdesaan (rural area) khususnya yang berbatasan dengan negara tetangga dalam hal ini Malaysia. Apabila suatu pembangunan di kawasan perbatasan ini tidak merata, dikhawatirkan akan berdampak pada persatuan dan kecintaan serta kepercayaan terhadap Indonesia luntur, dan mereka memilih untuk menjadi bagian dari negara tetangga.



[1] Imas Sholihah (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan gung RI).
[2] Sensus Penduduk 2010
[3] Dinas Hidrografi dan Oseanografi TNI AL, “Pulau-Pulau Kecil Terluar” (Jakarta, 2004)
[4] Marsetio (Kepala Staf TNI Angkatan Laut Republik Indonesia). Strategi TNI Angkatan Laut  Dalam Pengamanan Batas Maritim NKRI: kajian historis-strategis
[5] Moh. Rosyid (Dosen STAIN Kudus). Aplikasi UU Nomor 6 tahun 2014 Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan
[6] Menteri Dalam Negeri RI

[7] Detik.com. Jokowi akan Bangun Infrastruktur di 50 Kawasan Perbatasan Termasuk Malaysia (online) diakses pada 04 Mei 2017 pukul 10:05.

[8] redaksi@geotimes.co.id (diakses pada 04 Mei 2017 pukul 09:30)
Previous
Next Post »