Lepasnya Si Pulau Cantik Sipadan dan Ligitan
Rijwan Munawan
Ilmu
Pemerintahan
Universitas
Negeri Singaperbangsa Karawang
Indonesia memiliki pulau-pulau yang tersebar dari belahan barat
sampai timur, dari Sabang di sebelah barat dan Merauke di sebelah timur. Indonesia
memiliki setidaknya 17.504 pulau yang tersebar. Dari jumlah pulau-pulau yang
ada di Indonesia tersebut, hanya sebagian saja yang sudah diberi nama, dan
sebagiannya lagi bahkan masih banyak yang belum diberi nama. Pulau-pulau baik
pulau terluar maupun pulau terdalam merupakan suatu wilayah suatu negara yang
perlu dijaga keutuhannya, karena wilayah adalah ciri keutuhan suatu negara.
Dengan adanya wilayah, negara tersebut berdaulat. Dengan adanya wilayah yang
berdaulat, menjadi tempat orang-orang yang ada di dalamnya untuk menjalankan
aktivitas kehidupannya.
Masalah perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan dan
keutuhan suatu negara.[1] Untuk
itu setiap negara mempunyai kewenangan menentukan batas wilayahnya masing-masing.
Namun karena batas terluar wilayah negara senantiasa berbatasan dengan wilayah
kedaulatan negara lain maka penetapan tersebut harus juga memperhatikan
kewenangan otoritas negara lain melalui suatu perjanjian penetapan garis batas
laut. Perbatasan sendiri secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua
negara yang berdaulat. Ketahanan menjadi sangat penting mengingat banyaknya
ancaman bagi kelangsungan persatuan kita sebagai bangsa dan negara. Ancaman-
ancaman itu ada yang bersifat internal dan ada yang bersifat eksternal baik
karena perkembangan keadaan dunia maupun karena posisi Indonesia yang memang
rawan untuk dipecah belah. Pada awalnya perbatasan sebuah negara dibentuk
dengan lahirnya negara.
Wilayah perbatasan akan senantiasa menjadi momok yang mengkhawatirkan
bagi setiap negara, dimana negara yang wilayahnya berbatasan langsung dengan negara
lain akan semakin banyak kerawanan dan kemungkinan-kemungkinan terjadi suatu
hal yang dapat membahayakan keutuhan suatu negara. Perbatasan wilayah pun dapat
menjadi sengketa antar negara yang bersangkutan. Tak jarang dengan adanya
sengketa tersebut memunculkan konflik antar negara yang bersangkutan tadi.
Berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Lewis Coser mengenai teorinya
konflik, menggambarkan konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau
tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kekuasaan, dan sumber-sumber
kekayaan yang dari persediaannya tidak mencukupi. Disini dapat kita pahami bahwa
konflik dalam hal sengketa perbatasan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
kekuasaan suatu wilayahnya. Dengan mampu memenangkan sengketa, maka negara tersebut
berdaulat penuh dan memiliki kekuasaan atas wilayah yang dulu dipersengketakan.
Belajar dari Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, yang mana kedua pulau
ini adalah pulau yang dulu menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia. [2] Kasus
Sipadan dan Ligitan bukanlah luka baru dalam hubungan kedua negara. perundingan
penetapan landas kontinen tahun 1969 gagal menetapkan status pemilik kedua
pulau tersebut. Dalam kasus persengketaan ini, kedua negara mengklaim bahwa
wilayah tersebut masuk ke dalam wilayahnya. Indonesia beranggapan bila garis batas lurus
dibuat dari pulau Sebatik, yang sudah dibagi dua dengan Malaysia, dua pulau itu
mestinya masuk wilayah Indonesia.
Begitupun dengan Malaysia berpendapat, garis batas itu hanya sampai
pulau Sebatik, sehingga kedua pulau itu bisa diklaim sebagai wilayah sabah. [3]Persengketaan
ini mencuat ketika pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut
antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan
pulau Ligitan ke dalam batas- batas wilayahnya. Namun pada tahun 2002, Kedua
pulau ini jatuh kepada pihak Malaysia ketika kasus persengketaan ini dibawa
kepada pengadilan internasional. Dalam pengadilan itu, Indonesia kalah dan
harus rela memberikan pengakuan kepada Malaysia atas kedua pulau tersebut.
Berangkat dari sejarah atas kedua pulau tersebut, Sipadan dan
Ligitan secara resmi tidak dinyatakan sebagai bagian dari wilayah, baik Belanda
yang menjajah Indonesia dan juga Inggris
sebagai penjajah Malaysia . Sipadan dan Ligitan awalnya adalah dua pulau ‘tak
bertuan’, yang kemudian di klaim oleh Indonesia dan Malaysia. Atas sengketa
tersebut, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Malaysia dinyatakan berhak
atas kedua pulau itu, berdasarkan penguasaan efektif yang dilakukan Inggris
terhadap kedua pulau tersebut melalui pemberlakuan hukum dan pemeliharaan.
Mahkamah Internasional mendasarkan keputusannya kepada tindakan penguasaan
efektif yang dilakukan sebelum tahun 1969. Sehingga tidak benar jika kemenangan
Malaysia atas kasus ini dikarenakan pembangunan resort wisata di
pulau-pulau tersebut, karena resort
yang dibangun oleh Malaysia. Namun kita lihat juga ketika antara Indonesia dan
Malaysia menetapkan status quo atas kedua pulau tersebut. dimana dalam
pandangan Malaysia, status quo merupakan tetap menjadi kewenangan
Malaysia hingga persengketaan selesai. Maka Malaysia membangun resort
pariwisata di kedua pulau tersebut. namun berbeda dengan Indonesia yang
menganggap bahwa status quo merupakan bahwa kedua pulau tersebut jangan
ada yang mengelola ataupun ditempati sebelum keputusan atas sengketa berakhir.
Namun Malaysia dengan terlebih dahulu melanggar atas status quo
tersebut. Dan ketika kasus sengketa tersebut dibawa kepada Mahkamah
Internasional, maka pihak Indonesia kalah dalam mendapatkan suara. Dengan 15
hakim mendukung Malaysia, sementara Indonesia hanya satu saja.
Pembangunan resort oleh Malaysia di kedua pulau tersebut
baru dibangun setelah tahun 1969. Namun demikian, pendirian resort
tersebut telah menyalahi hukum karena pembangunannya dilakukan di pulau yang
masih dalam sengketa. Pada kasus Sipadan-Ligitan, Indonesia memang kalah, tetapi
bukan kehilangan pulau-pulaunya,
karena sejak awal Sipadan-Ligitan memang bukan milik Indonesia. Namun kasus
sengketa atas pulau Sipadan dan Ligitan masih menuai konflik, dimana Malaysia
dengan seenaknya mengklaim kembali atas wilayah Indonesia atas Ambalat pada
tahun 2005 sampai sekarang.
Dari kasus Sipadan Ligitan ini penulis beropini bahwa kasus Sipadan
Ligitan dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah Indonesia dalam menjaga
keutuhan wilayahnya sebagai kedaulatan negara. Negara harus memosisikan
pulau-pulau terluar sebagai halaman depan Indonesia dan bukan dipandang sebagai
halaman belakang yang boleh diabaikan begitu saja. Pembangunan mesti dilakukan
untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan keamanan di pulau-pulau terluar
tersebut. Sehingga, dengan demikian klaim Indonesia terhadap pulau-pulau
tersebut tidak hanya kuat secara hukum namun juga secara sosiologis. Dari situ
dapat diambil pelajaran bagi pengelolaan perbatasan Indonesia. Minimnya
pemahaman dan political will pemerintah serta para pemangku kepentingan
tentang kesadaran ruang dan kesadaran garis batas wilayah negara harus
ditingkatkan.
Lepasnya Sipadan Ligitan tak lepas dari ketidak berdayaan
pemerintah dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya, juga adanya kebijakan yang
saling tumpang tindih, dan tidak menjadikan laut dan perairan kita sebagai
pemersatu bangsa dan wilayah, serta kenyataan gangguan keamanan dan pelanggaran
hukum di laut masih terus berlangsung dari tahun ke tahun dan cenderung
meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya, namun persoalan ini belum menjadi
agenda prioritas dalam implementasi kebijakan yang ada. padahal Indonesia
memiliki Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 sebagai awal perjuangan Indonesia
menyatukan wilayahnya yang berhasil diakui secara internasional dalam Konvensi
PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Conventions on Law of The Sea
(UNCLOS) 1982 yang diratifikasi pada tahun 1985. Hal pertama yang harus
dilakukan adalah pembangunan dan
pengembangan sosial ekonomi mengingat sampai saat ini pembangunan di
pulau-pulau terluar masih sangat terbatas bahkan beberapa diantaranya hampir
tidak tersentuh. Sampai saat ini, pembangunan fisik dan non-fisik di
pulau-pulau terluar Indonesia ini pun masih sangat minim dan masih jauh dari
harapan. Pembangunan dan pengembangan di
pulau- pulau terluar ini, terutama pada aspek ekonomi dan sosial akan berdampak
terhadap nasionalisme masyarakat. Karena sekalipun tidak terkait dengan adanya
kemungkinan kehilangan pulau-pulau
tersebut, namun rapuhnya nasionalisme masyarakat di wilayah perbatasan
akan berdampak negatif bagi keutuhan bangsa. Untuk itu, Pemerintah Indonesia
perlu menegaskan dan merealisasikan komitmen untuk mempercepat pengembangan
pulau- pulau terluarnya secara komprehensif, melalui berbagai pembangunan fisik
dan non fisik, perbaikan infrastruktur dan menjadikan pulau-pulau terluar
sebagai beranda nusantara. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberikan
jaminan kehidupan yang lebih baik kepada penduduk yang berada di pulau terluar
juga wilayah-wilayah perbatasan, akan semakin menegaskan dan mengokohkan klaim atas
kedaulatan negara Indonesia.
[1]
Kurniawan Setyanto.2012. Tesis :Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar
Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan Ligitan Dari Indonesia Tahun 2002
Dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan. (FISIP: UI)
[2] Rizal
Darmaputra.2009. Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan. (IDSPS
Press:Jakarta).
[3] Agus Subagyo.
Presentasi Analisis Politik Luar Negeri
Politik Luar
Negeri Indonesia Pada Masa Reformasi
:
“Studi Kasus Upaya Mempertahankan
Blok Ambalat Sebagai Wilayah NKRI :
Belajar DariLlepasnya Pulau Sipadan
dan Ligitan”.
ConversionConversion EmoticonEmoticon