Review NICCOLO MACHIAVELLI SANG PENGUASA Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin Republik



NICCOLO MACHIAVELLI
SANG  PENGUASA
Surat Seorang Negarawan  kepada Pemimpin Republik

Rijwan Munawan


Buku ini termasuk salah satu buku yang disebut-sebut punya kontribusi dalam proses perubahan dunia seperti kita saksikan sekarang terutama dalam membangun kultur politik pada masa modern ini. Ulasan tentang substansi kekuasaan, ketatanegaraan, organisasi militer dengan pernyataan-pernyataan politis yang kontroversial tetap menarik perhatian dunia. PANTULAN KULTUR RENAISSANCE Sementara para penguasa dalam kerajaan-kerajaan di Asia Timur, termasuk raja-raja kerajaan Jawa dahulu, masih mempertahankan perlengkapan magis-religius pada kekuasaan yang mereka pegang, di belahan bumi sebelah Barat pada masa Machiavelli hidup, kekuasaan yang berwajah dua (mempesona dan menakutkan itu) sudah mengalami proses sekularisasi. Legitimasi religius sebagai model legitimasi kekuasaan yang paling kuno membuka peluang bagi penguasa untuk menjalankan kekuasaannya melampaui penilaian moral. Dengan perlengkapan magis-religius itu, penguasa tidak dilihat sebagai subyek yang bertanggung jawab atas tindakantindakannya melainkan hanya sebuah wadah yang digerakkan oleh kekuatan Ilahi. Dan karena sang penguasa hanyalah wadah dari yang Ilahi maka rakyat atau warga negara tidak dapat meminta pertanggungjawaban moral dari penguasa. Masyarakat tinggal menerima apa yang dikehendaki oleh penguasa, tanpa sikap menuntut dan tanpa hak untuk mendengarkan. Nasib rakyat tergantung dari belas kasih sang penguasa. Kalau rasa belas kasih raja besar maka nasib rakyat selamat, kalau rasa belas kasihnya sedikit maka rakyat celaka dan melarat.
RIWAYAT SINGKAT MACHIAVELLI (1469-1527)
Kota Florence di Jazirah Italia merupakan tanah air Machiavelli. Florence merupakan salah satu kota yang berkembang karena meramainya kembali perdagangan Timur-Barat akibat Perang Salib. Kota itu berkembang menjadi negarakota (polis). Para penguasa tertinggi negara-kota itu berasal dari keluarga-keluarga aristokrat, yang mengalami peningkatan status sosial karena kecipratan rezeki hasil perdagangan dan perniagaan. Kota Florence tidak saja menjadi megah karena bangunan gereja, biara dan katedral, lambang dari pusat kebudayaan teosentris (ciri khas kebudayaan Abad Pertengahan), tetapi menjulang ke langit bangunan-bangunan lain seperti istana-istana para bangsawan/aristokrat baru, pusat-pusat perdagangan, tokotoko, pasar dan bank-bank sebagai lambang datangnya kebudayaan baru yang bercorak antroposentris (humanistis). Sejarah politik negara-kota Florence merupakan rentetan pengalaman pasang-surut perkembangan-dan 9 Dr. Theo Huibers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Kanisius, Yogyakarta, 1982). Pada masa pemerintahan Lorenzo Agung (1464-1492), Niccolo Machiavelli lahir (1469-1527) dan dibesarkan dalam keluarga ayahnya yang ahli hukum dan kaya. Ayahnya membantu Machiavelli untuk menikmati pendidikan yang terbaik pada waktu itu di Florence. Ayahnya sebagai ahli hukum bekerja sebagai pegawai pemerintah pada kantor pajak. Ayahnya menginginkan kelak Machiavelli menjadi seorang teknokrat, sedang ibunya merindukan anaknya menjadi imam atau rohaniwan. Tetapi Machiavelli sendiri kemudian berkembang menjadi seorang politikus dengan ide-ide yang kongkret, praktis dan peka terhadap prioritasprioritas tindakan. Tidak banyak yang bisa dicatat apa yang dialami dan dilakukan Machiavelli selama dia belum tampil dalam kehidupan publik pada tahun 1498.
 Perubahan hukum, undang-undang, konstitusi negara yang berlangsung secara cepat dan drastis. Monarki diganti dengan sistem demokrasi, lalu kembali ke sistem monarki lagi. Sementara itu eksistensi negara-kota selalu terancam dari para penyerang dari luar, terutama serbuan pasukan Prancis dan Spanyol. Kota-kota Italia menjadi sasaran empuk perampokan dan penjarahan tentara penyerbu. Kota kebudayaan itu selalu dilanda oleh situasi politik yang tidak stabil. Stabilitas politik hampir tidak dinikmati oleh penduduk yang cukup kaya dan makmur itu. Intrik-intrik politik selalu muncul dan melahirkan bentrokan-bentrokan politik di atas panggung kekuasaan. Tahta kekuasaan kota Florence pada abad ketiga belas menjadi rebutan keluarga Guelphi dan Ghibellin, yang menyebabkan Dante, penyair kenamaan, dibuang dari Florence. Ghibellin mendapat dukungan dari golongan aristokrat, sedangkan keluarga Guelphi didukung kelas menengah kota itu. Bentrokan itu akhirnya dimenangkan oleh keluarga Guelphi, yang menduduki tahta kekuasaan tertinggi selama seratus lima puluh tahun. Rakyat jelata kota Florence tidak mendapat perhatian khusus dari keluarga Guelphi itu. Lamakelamaan timbul keresahan sosial di kalangan rakyat kecil itu.10 Keluarga Medici, salah satu anggota kelompok aristokrat, mencoba bermain di air keruh, dengan memanfaatkan keresahan sosial untuk merebut tahta dari keluarga Guelphi. Cosimo de' Medici (1389-1464) dengan bekal pengetahuan sejenis psikologi massa dan setumpuk modal uang berhasil memanaskan kesadaran rakyat kecil. Dalam suatu pemilihan umum, rakyat kecil mendukung Cosimo de' Medici sebagai penguasa baru kota Florence. Kelihaian berpolitik ditunjukkan dengan cara memanipulasi keadaan rakyat jelata, yang sebenarnya tidak diminati. Dan 10 Frederick Mayer.  kepada pihak lawan politik, dia berusaha membuktikan diri seolah-olah tidak terlibat dalam kegiatan pemilu dan tidak mempengaruhi lembagalembaga politik yang ada. Keluarga Medici mencapai puncak kekuasaan di bawah pemerintahan Lorenzo Agung, yang memerintah Florence dari tahun 1464-1492. Tokoh ini bertindak sebagai sponsor besar untuk pengembangan kesenian. Aktivitas perdagangan meningkat pesat dan situasi politik jauh lebih stabil dari keadaan sebelumnya.
Machiavellipun hidup dalam suatu tradisi kekuasaan yang sudah mengalami pendobrakan legitimasi religius. Selubung gaib yang selama berabad-abad menutup wajah raja sebagai manusia biasa menjadi wajah dewa atau wakil dari dunia gaib, sudah dikuak dan wajah penguasa menjadi wajah seorang manusia biasa kembali. Lalu timbul pertanyaan baru tentang kekuasaan, yakni, atas dasar apa seorang penguasa mempunyai wewenang untuk memberi perintah dan menghukum warga yang menolak perintahnya? Machiavelli mewarisi paham kekuasaan dari tradisi agama Yahudi-Kristen yang menolak identifikasi penguasa dari wilayah Ilahi, Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau. Pada tahun 1512 ketika Machiavelli mulai memaparkan pandanganpandangannya tentang kekuasaan penguasa negara yang sudah dicopot perlengkapan magis-religius karena sudah masuk dalam proses sekularisasi kekuasaan, jejak-jejak terakhir Majapahit menghilang dari peredaran sejarah. Kesultanan Malaka yang menjadi pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia baru saja direbut oleh Portugis (1511).
Dalam Abad XVII Amangkurat I, pengganti Sultan Agung (1613-1645), merasa terancam karena perlengkapan magisreligius kekuasaannya digerogoti oleh prinsip egalitarianisme Islam, yang diperkenalkan oleh guru-guru Islam. Raja itu memerintah untuk membunuh ratusan guru Islam beserta keluarganya demi mempertahankan perlengkapan magis-religius kekuasaannya. Dan menempatkannya dalam tata tertib kehidupan manusia biasa, yang tunduk pada kehendak Tuhan dan dapat dikritik serta meminta pertanggungjawaban dari segi moralitas. Dan dari tradisi kekristenan berlaku sikap dasar terhadap segala kekuasaan duniawi, yakni bahwa manusia harus lebih taat kepada Allah (menurut tuntutan hati nuraninya) daripada kepada manusia (Kisah Para Rasul 5.3). Prinsip politik ini dihayati dan diyakini oleh gereja Katolik purba yang bertahan dalam penganiayaan para penguasa Romawi selama tiga abad pada awal perkembangan komunitas kristiani. Pendeknya, monoteisme baik yang menggejala pada agama Kristen maupun kemudian pada agama Islam kelak merupakan dasar sekularisasi kekuasaan. Selain tradisi kekuasaan Yahudi-Kristen, Machiavelli juga dipengaruhi oleh tradisi kekuasaan Yunani, yang juga mengalami pendobrakan legitimasi religius. Kekuasaan bagi masyarakat Yunani, yang menjadi akar kultur kekuasaan Barat kemudian, merupakan wadah organisasi rasional masyarakat yang dikelola untuk mencapai kepentingan bersama. Orang Yunani yang hidup enam ratus tahun sebelum Masehi sudah mengajukan pertanyaan, yang baru diajukan oleh para perintis kemerdekaan Indonesia pada awal abad XX Masehi (ketinggalan 26 abad), yakni apa yang lebih baik bagi suatu negara, adanya pemimpin negara yang baik, ataukah suatu sistem hukum yang baik? Pertanyaan ini bisa diajukan dengan asumsi bahwa si penanya melihat kekuasaan dari segi rasional-fungsional, sebuah pertanyaan yang memang sangat modern, karena masih dipertanyakan oleh para sosiolog modern pengikut aliran fungsionalismeparsonian pada akhir tahun lima puluhan lalu. Plato, filsuf Yunani, melihat kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan. Sejak itu masalah keadilan selalu dihadapkan dengan kekuasaan dan dengan demikian filsafat politik dapat dibahas secara rasional.
Pendobrakan legitimasi magis-religius yang ketiga terjadi dalam masa Kekaisaran Roma di tanah kelahiran Machiavelli, yakni kekuasaan akan menjadi sarana yang efektif untuk menegakkan keadilan, melalui jalur-jalur suatu sistem hukum yang diberlakukan untuk mengontrol kesewenang-wenangan praktek kekuasaan atas hak-hak asasi manusia kongkret. Dan ketika Machiavelli memainkan peranan sebagai politikus, pentas kekuasaan yang dinaikinya sudah dibersihkan dari legitimasi religius dan tinggal legitimasi moral yang dihadapinya. Dia tidak mengira bahwa filsafat politik yang ditulis pada bukunya Sang Penguasa merupakan suatu pendobrakan terhadap legitimasi moral, sehingga wajah penguasa bukan saja wajah seorang yang bersih, suci, murni, sopan dan feminin, tetapi wajah penguasa yang licik, kotor, berdarah dan garang seperti layaknya wajah manusia yang penuh ambisi, yang senantiasa gelisah dan resah sampai seluruh ambisinya terwujud menjadi kenyataan. Yang ke dua Motivasi orang Barat dalam melibatkan diri dalam Perang Salib tidak seluruhnya bersifat religius murni; ingin membela Tanah Suci dari tangan para penganut Islam, dengan tuntutan yang sama. Motivasi religius bercampur aduk dengan motivasi nonreligius seperti keinginan untuk berpetualang ke negeri Timur, mencari peluang untuk meningkatkan kegiatan dagang rempah-rempah, sutera dan barang lain yang datangnya dari Timur. Dengan demikian pelabuhan-pelabuhan Jazirah Italia mulai bangkit lagi dari tidurnya semenjak Kekaisaran Romawi runtuh pada Abad V. Perdagangan dan pelayaran sesudah Perang Salib berkembang pesat. Kota-kota pelabuhan seperti Genoa, Venesia mendapat monopoli perdagangan. Di kota-kota itu mulai berkecambah akar-akar kapitalisme modern . kemudian beralih ke Spanyol, lalu bergeser ke utara Antwerpen, Amsterdam, London. Dan sekarang bergeser lagi ke New York dan Tokyo. Karena monopoli maka terjadi penumpukan kekayaan pada beberapa keluarga pedagang yang kaya, yang kemudian menjadi pemilik bank dan pemilik modal. Dari keluargakeluarga ini timbul minat terhadap kesenian alternatif, yang ketika itu, didominasi oleh kesenian yang menimba inspirasi dan ekspresi dari agama Kristen. Pertumbuhan kapitalisme awal turut membantu perkembangan kebudayaan Renaissance, yang dapat disaksikan pada bidang kesenian, kesadaran nasional dan kesadaran tentang apa artinya warga negara itu. ketiga Bangsa Italia merupakan bangsa yang paling penting pada awal penyebarluasan cita-cita Renaissance sebagai suatu gerakan intelektual dengan semangat humanistis. Gerakan intelektual ini tumbuh sebagai suatu semangat zamannya, yang perlahan-lahan menjiwai seluruh masyarakat Barat kemudian. Sebuah semangat yang terungkap pada usaha-usaha menggali kembali akar-akar kebudayaan Barat yang berasal dari Yunani dan Romawi dalam rangka menemukan identitas dirinya. Banyak penganut aliran humanisme seperti Erasmus, yang melihat kebudayaan Yunani sebagai puncak kebudayaan Barat, yang semasa hidupnya dinilai berada dalam masa kemerosotan. Tetapi di samping menoleh ke masa silam untuk menemukan identitas diri, semangat Renaissance juga mendorong manusia Barat masa itu untuk lebih maju dengan berpandangan jauh ke depan.4 Jadi mereka menggali 3 Bihlmeyer-Tuchle, Church History, Vol. II, The Middle Ages, (The Newmann Press, Westminster, Maryland, 1963, hlm. 359-361). 4 Prederick Mayer, AHistory of Modern Philosophy (American Book Company, New York, 1951, hlm. 10-26). Uraian yang menjelaskan pentingnya mendalami kebudayaan Renaisans untuk lebih memahami akar-akar budaya supaya lebih mengenal diri sendiri (identitas), tetapi juga supaya mereka bisa menata kehidupan sendiri secara lebih efektif. Efektivitas kultural ini kelihatan pada perubahan pandangan hidup yang lebih mementingkan kehidupan di dunia ini (dieseitig), menghormati manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan yang memiliki keunggulan rasional. Pendeknya dalam suatu semangat humanistis yang percaya pada potensi-potensi manusiawi, kegairahan untuk terusmenerus mencari tahu (proses belajar terus-menerus), dengan tekanan perhatian pada ketelitian dan kecermatan pengamatan. Caracara baru dalam proses belajar ini kemudian dilindungi oleh keluarga-keluarga yang penuh kuasa dan tokoh-tokoh berpengaruh pada masa itu seperti Ludovico Sforza dari Milan, Alfonso dari Napels dan terutama keluarga Medici dari Florence, yang berkuasa ketika Machiavelli hidup. Perlahan-lahan Gereja Katolik Abad Pertengahan kehilangan otoritas nya yang absolut. Sesudah otoritas gerejani dirongrong oleh gerakan skisma dan heresi (gerakan menentang otoritas di bidang ajaran iman dan moral Katolik), bangkit pula gerakan-gerakan nasionalisme dan terbentuk negara-negara nasional di Italia, yang melemahkan kewibawaan negara kepausan. Lambat laun nilai-nilai kristiani Abad Pertengahan kehilangan pengaruhnya, karena tidak mampu lagi memaknakan semangat baru yang lebih memusatkan perhatian pada cara-cara mencapai kebahagiaan di dunia ini, daripada kebahagiaan alam baka seperti dihimbau oleh ajaran tradisional. Sebaliknya Gereja berjuang untuk revolusi industri beberapa abad kemudian terutama pada gejala demokratisasi ilmu pengetahuan yang sudah dimulai pada waktu itu karena berkembangnya teknologi percetakan. Gerakan monastisisme yang dipimpin oleh tokoh-tokoh religius dengan mendirikan biara-biara untuk menumbuhkan semangat asketisme (gerakan melupakan diri, pengorbanan sebagai sarana untuk menyempurnakan diri sebagai syarat untuk memasuki kebahagiaan di alam baka) tidak pernah menjadi gerakan budaya yang dominan lagi, karena tidak mampu membendung gerakan sekularistis (menumbuhkan kebahagiaan dengan menghayati nilai-nilai kehidupan dunia ini dengan segala keindahan dan kepuasan lainnya) yang melanda penduduk kota-kota yang semakin bertambah kaya dan makmur, yang dipelopori oleh seniman, pedagang, usahawan, para penguasa sebagai pembesar-pembesar kota (city boss). Nilai-nilai sekular seperti kekayaan, kekuasaan, keindahan, kemewahan diterima sebagai unsur-unsur konstitutif dari kebahagiaan hidup yang dikejar selama seorang hidup. Semangat mengejar kebahagiaan yang bersifat sekular ini semakin merasuk sendi-sendi kehidupan masyarakat Barat dan seakan-akan tak terbendung oleh gerakan asketisme, yang terarah ke kebahagiaan di dunia "sana" (jenseitig).
Riwayat kekuasaan Savoranola
Riwayat kekuasaan Savoranola menunjukkan sebuah citra sang penguasa dengan kehidupan moral yang tak bercela; dia seorang religius yang saleh, dengan dasar iman yang ortodoks dan berakar pada ajaran Gereja Katolik. Tetapi kepekaannya terhadap tanda-tanda zaman kurang memadai. Dia bersikap keras terhadap proses sekularisasi, yang merindukan otonomi dan alternatif-alternatif dalam pilihan dasar moral kehidupan. Karena pandangan religius yang polos, lugu dan menolak alternatif, maka tokoh moralis 7 Bihlmeyer-Tuchle, Church History, Vol. Jl, The Middle Ages, (The Newmann Press, Westminster, Maryland, 1963), riwayat singkat kehidupan Savoranola dapat ditemukan di sana. kekuasaan ini melihat kitab suci identik dengan buku hukum, yang mengatur tata tertib kehidupan manusia di dunia. Semangat biblisisme (semuanya dikembalikan ke dalam referensi kitab suci, Bible) rupanya tidak cukup untuk menegakkan kekuasaan dalam masyarakat yang terlibat dalam proses sekularisasi.8 Savoranola dikagumi oleh rakyat, yang untuk sementara memujanva sebagai tokoh pembaharu kehidupan moral yang sedang dekaden. Tetapi tokoh ini tidak punya banyak pengikut. Disiplin moral, intelektual dan politik masih asing dalam masa Renaissance. Para penguasa masa itu berusaha mempertahankan kekuasaannya dari ancaman-ancaman baik dari luar maupun dari dalam negeri. Jatuhnya Kekaisaran Romawi pada abad V Masehi karena serbuan bangsa-bangsa dari Utara, Timur dan Selatan menjadikan daratan Eropa terpecah-belah menjadi banyak negara nasional kecil. Hukum dan tertib antarbangsa, yang sudah ditegakkan selama masa kekaisaran (ius gentium) hilang lenyap pada masa itu, diganti dengan hukum buatan negara-negara kecil, dengan standar hukum sendiri-sendiri. Karena tidak adanya kesatuan dalam bahasa, sistem pemerintahan, sistem hukum, sistem keuangan dan kesadaran nasional yang mengikat masing-masing negara kecil, maka masa Renaissance juga ditandai dengan gejala anarki politik dan moral. Muncul dua faktor dominan yang merupakan faktor stabilitas keadaan di Italia pada waktu itu. Faktor pertama adalah para raja atau penguasa yang beragama Katolik yang punya peranan besar dalam stabilitas bidang politik. Sedangkan faktor kedua adalah para paus yang mengklaim dirinya berwewenang di bidang kerohanian. Gejala anarki politik dan moral,  dalam buku Sang Penguasa (Il Principe) dapat disaksikan pada pertarungan para penguasa yang menuntut kekuasaan politik merupakan suatu yang otonom dan dipisahkan dari kekuasaan rohani kepausan. Sedangkan para paus berusaha agar otoritas mereka mencakup baik kekuasaan politik maupun kekuasaan moral/kerohanian.9 Usaha itu terjelma dalam teologi politik tradisional pada waktu itu (salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas (1225-1274), yang menempatkan kekuasaan politik dalam lingkup kekuasaan moralIrohani yang lebih luas).
 Realitas Politik
Machiavelli menangkap dan memahami realitas politik bertolak dari rangkaian aksi bangsa-bangsa yang diwarnai dengan kepentingan masing-masing bangsa. Interaksi hubungan internasional membawa Machiavelli ke pernahaman yang mendalam tentang hakikat manusia menurut pengalamannya .. Dalam konteks hubungan internasional yang saling memanipulasi untuk tujuan-tujuan nasional masing-masing bangsa, maka wajah realitas politik dapat ditemukan terutama pada profil-profil para pemimpin bangsa pada waktu itu dengan pola-pola manajemen kekuasaan yang diterapkan oleh masing-masing pemimpin nasional itu. Itulah kondisi-kondisi politik nyata, yang hendak dideskripsikan secara sempurna dalam tulisan-tulisan Machiavelli. Interaksi hubungan internasional yang menjadi bagian dari realitas politik harus dipahami oleh para penguasa dalam perspektif sejarah. Kepentingan yang paling utama di balik hubungan internasional adalah kepentingan ekonomi masingmasing negara. Hal itu tercermin dalam misi-misi diplomatik yang sudah lama dipraktekkan sebagai tanda meningkatnya pernahaman masyarakat tentang tindakantindakan aktual negara-negara dan diplomasi. Karena dalam sejarah kekuasaan pada masa silam (terutama sejarah Kekaisaran Romawi) terjadi pengulangan-pengulangan praktek kekuasaan seperti disaksikan oleh Machiavelli pada masanya, maka tulisantulisannya berisi ramalan bahwa praktek kekuasaan masa silam dan kontemporer akan diulang dan diterapkan dengan cara yang hampir sama di masa-masa yang akan datang, karena memang demikianlah realitas politik. Aspek hubungan internasional sebagai bagian realitas politik merupakan trend pertama dalam tulisan Machiavelli. Sedangkan trend kedua bertolak dari kondisi riil tingkah laku politik anggota masyarakat masing-masing negara yang telah diamati oleh Machiavelli. Ternyata kondisi kehidupan politik nyata ditandai oleh adanya semacam anarki kekuasaan (di mana rakyat tidak mengakui sepenuhnya kepemimpinan sang penguasa dan golongan elite juga saling bertarung merebut kekuasaan) dan adanya kemerosotan moral dalam hubungan dengan pemerintahan suatu negara (rezim baru merebut kekuasaan dari rezim lama dan timbul usaha membangun rezim yang lebih baru untuk merebut kekuasaan dari sang penguasa saat itu seperti pengalaman kekuasaan selama Machiavelli hidup di negara Florence). Karena itu Machiavelli melihat praktek politik yang nyata dalam sebuah negara pada tingkah laku penguasa dalam merebut kekuasaan dari rezim lama dan kalau diperlukan menggunakan kekerasan dan kekuatan (terjelma dalam lembaga kemiliteran) untuk mempertahankan kekuasaan dan bila ada peluang dan kesempatan memperluas ruang kekuasaannya ke segala bidang kehidupan bangsa dan negara untuk melanggengkan dan melestarikan kekuasaan itu sebelum kekuasaan itu merosot dan hancur oleh bangkitnya rezim yang baru sebagai rezim pengganti. Itulah kehidupan kekuasaan yang tunduk pada hukum-hukum perkembangan alam, seperti disaksikan pada pertumbuhan dan perkembangan serta kemerosotan kehidupan manusia, hewan, tumbuhan dan alam. 14 Sejarah bangsa-bangsa dan negara-negara besar masa silam juga menggambarkan perjalanan kekuasaan semacam itu. Justru karena desakan waktu, karena begitu pendeknya kesempatan untuk berkuasa, maka para penguasa sebaiknya tidak menenggelamkan dirinya dalam mewujudkan cita-cita moral dan religius, melainkan penguasa harus menjadi lihai dan secara terencana memanfaatkan keterbatasan-keterbatasan kodrat manusia, yang pada dasarnya egoistis itu. Kekuatan-kekuatan yang nyata harus digunakan secara spontan, memanfaatkan legalitas konstitusional untuk melancarkan aksi-aksi politik, serta memanfaatkan bonafiditas lembaga-lembaga agama untuk membangun "publik opini" bahwa penguasa adalah pendukung moralitas, untuk mendapat dukungan rakyat. Masyarakat perlu diberi hiburan dengan pelbagai pertunjukan kesenian dan kegiatan olahraga. Bila kondisi-kondisi sosial-politik semakin gawat karena munculnya kekuatan-kekuatan oposisi, maka diberlakukan keadaan darurat perang dan hukum-hukum peperangan. Dari deskripsi realitas politik trend kedua ini maka sebenarnya Machiavelli ingin menunjukkan suatu inti dari permainan politik dalam negeri (semacam postulat fundamental dari kehidupan politik), yakni bahwa rakyat banyak gampang dibohongi dan dimanipulasi dukungannya lewat penampilanpenampilan sang penguasa secara menarik dan persuasif; rakyat hanya membutuhkan ilusi-ilusi yang kuat dan sangat mudah diyakinkan dengan apa yang mereka lihat dan saksikan secara langsung. Akhirnya kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa lewat tulisan-tulisan Machiavelli, terutama dalam bukunya Sang Penguasa, diperlihatkan pilihan utama profesi Machiavelli, yakni seorang politikus praktis yang berminat pada tindakantindakan nyata dengan pedoman-pedoman operasional yang langsung dapat diterapkan secara spontan karena sense of urgency (desakan keadaan) memaksa politikus untuk memperhatikan dan mengutamakan urutan prioritas tindakantindakannya. Karena itu kita dihadapkan dengan deskripsi atas tujuan-tujuan jangka pendek praktek politik, organisasi yang mendukung tercapainya tujuantujuan jangka pendek itu, serta saran-saran kongkret tentang langkah-langkah nyata yang harus diambil baik oleh penguasa dan anggota rezimnya, maupun para anggota organisasi pendukung. Dan justru karena saran-saran kongkret yang ditawarkan kepada penguasa untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek, maka tujuan-tujuan jangka panjang sebuah negara yang pada umumnya diminati golongan moralis dapat diamankan. Di sini jelas kelihatan watak kenegarawan Machiavelli dan sekaligus seorang filsuf politik yang ulung dalam barisan filsuf politik dunia sampai saat ini.
Politik dan Moralitas
Di tengah situasi khaos di bidang religius serta desintegrasi di bidang moralitas publik, maka bagi Machiavelli persoalan kekuasaan yang diutamakan bukannya soal legitimasi moral, tetapi bagaimana kekuasaan yang tidak stabil itu menjadi stabil dan lestari. Pandangannya tentang politik tidak berasal dari pandangan tradisional pada waktu itu, yang melihat tugas pemerintah terutama pada distribusi dan pemeliharaan nilai keadilan. 15 Pandangan tradisional itu tidak cocok dengan praktek kekuasaan yang dia saksikan dan dialami ketika dia hidup dan juga tidak cocok dengan praktek politik pada masa Kekaisaran Romawi sedang berjaya. Dengan membayangkan cita-cita dan praktek kekuasaan dari Cesare Borgia dan Paus Alexander Vl, Machiavelli mengatakan bahwa tugas pemerintah yang sebenarnya adalah mempertahankan serta mengembangkan dan mengekspansikan kekuasaan, kekuatan sebagai unsur integral dan elemen paling esensial dalam politik. Sehubungan dengan kepentingan pertahanan dan ekspansi kekuasaan, Machiavelli berpendapat penguasa bukanlah personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral. Machiavelli menganut semacam sinisme moral dalam filsafat politik. Tujuaq dari semua usaha penguasa adalah mempertahankan stabilitas suatu negara, negara tetap eksis dan bila ada ancaman, dilakukan tindakan penyelamatan dari ancamanancaman itu. Dalam mengambil tindakan, maka pertimbangan yang dilakukan oleh penguasa pertama-tama tidak bertolak dari kemauan rakyat, apakah tindakan yang akan diambil itu dinilai oleh masyarakat baik atau buruk, tetapi bertolak dari segi efisiensi secara politik. Pilihan-pilihan tindakan tergantung dari tuntutan keadaan dan desakan situasi sosial. 16 Yang sudah menerapkan pola manajemen kekuasaan secara baru dan memisahkan tindakan politik dari kerangka penilaian moral adalah Cesare Borgia.17 Tindakan-tindakan politis Borgia merupakan ilustrasi ideal dalam prosedur yang benar untuk menegakkan kekuasaan bagi para penguasa. Sebagai contoh prosedur menegakkan kekuasaan, misalnya bagaimana caranya seorang penguasa baru menegakkan, Salah satu ilustrasi menarik tentang prinsip moral bahwa tujuan menghalalkan segala cara yang diterapkan oleh Borgia dan sangat menarik perhatian untuk dicontohi oleh penguasa yang lihai dan licik adalah kasus penaklukan daerah Campagna sekitar kota Roma. Borgia memerintah panglimanya menyerbu Campagna. Panglima bersama pasukan berhasil menaklukkan wilayah itu. Rakyat Campagna sakit hati terhadap Borgia atas tindakan aneksi itu. Untuk menarik hati rakyat, panglima yang diperintah itu dituduh sebagai pengkhianat atas perintah Borgia. Panglima akhirnya dihukum mati untuk merebut simpati rakyat Campagn Machiavelli mengatakan bahwa keluarga dari penguasa wilayah sebelumnya harus dimusnahkan.
 Kekejaman dapat dimanfaatkan dan dipraktekkan oleh penguasa atas desakan keadaan dan tuntutan situasi untuk menguasai sepenuhnya suatu wilayah baru karena semua ancaman atas kekuasaan dapat diatasi dan dilenyapkan. Seandainya kekuasaan sudah stabil dan digenggam erat dalam tangan penguasa, maka langkah politik yang berikut adalah menarik simpati rakyat dengan pelbagai bantuan. Dengan demikian filsafat politik Machiavelli bertolak dari desakan keadaan dan tuntutan situasi khaotis sehingga menimbulkan kemungkinan besar suatu ketidakstabilan kekuasaan. Maka tujuan utama berpolitik bagi penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada pada tangannya. Machiavelli membatasi perhatian pada teknik perebutan dan pertahanan kekuasaan. Dia mengulas masalah praktis ini dengan sinisme moral yang keras. Baginya politik dan moralitas merupakan dua bidang yang terpisah dan tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Dalam urusan politik, tidak ada tempat membicarakan masalah moral. Hanya satu hal yang penting ialah bagaimana meraih sukses dengan memegang kekuasaan. Kaidah etika politik altematif bagi Machiavelli adalah: tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan. Segala usaha untuk mensukseskan tujuan itu dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan membenarkan segala teknik pemanipulasian dukungan masyarakat terhadap kekuasaan yang ada. Dia seolah-olah membenarkan persaingan antara para pemimpin mafia yang saling merebut hegemoni kekuasaan. Pemerintah yang ideal perlu menghindari tindakan-tindakan yang bersifat setengah-setengah.
Pemisahan tegas antara prinsip-prinsip moral, etika dan prinsip-prinsip ketatanegaraan didasarkan pada adanya perbedaan antara moral dan tata susila dan kehidupan ketatanegaraan. Moral dan tata susila merupakan suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan ketatanegaraan adalah suatu kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Suatu kenyataan memang harus dibedakan dari suatu kemungkinan yang diharapkan. Karena itu bidang politik tidak perlu memperhatikan bidang moral. Tujuan politik jauh lebih nyata dari tujuan moral dan negara harus mengejar tujuan-tujuan nyatanya. Karena tidak ada nilai etis dalam kehidupan politik, maka seorang penguasa dapat saja memutuskan dan melanggar perjanjian yang pernah diucapkan baik kepada rakyatnya maupun kepada negara-negara tetangganya. Dalam situasi perang antara dua kekuatan besar, penguasa suatu negara jangan bersikap netral, tetapi harus memihak pada negara yang lebih kuat dan diperhitungkan akan memenangkan peperangan. Pemihakan kepada calon pemenang membuka kemungkinan yang lebih menguntungkan bagi penguasa dan negaranya, karena pemenang akan menghargai sikap memihak itu. Penguasa yang mahakuasa kelihatannya tidak suka bila dirinya dikelilingi oleh barisan kompetitor, karena para diktator tidak suka adanya orang kuat yang lain berada di sampingnya. Tetapi sebaliknya orang kuat itu secara tak sadar membutuhkan stimulasi dari orang kuat saingan beratnya. Menurut Machiavelli, negara yang kuat tidak cukup diperintah oleh sekelompok pemimpin dengan bakat "mediocre" dan tidak memanfaatkan kekuatan oposisi. Negara yang kuat membutuhkan oposisi yang kuat untuk menyempurnakan pola manajemen kekuasaannya, karena tujuan terakhir dari perjuangan sang penguasa adalah 18 Machiavelii, The Prince, translated with an introduction by George Buli.
 Angkatan Bersenjata dan Patriotisme
Suatu pemerintahan harus dibangun di atas dasar yang kuat sehingga kekuasaannya stabil. Dasar stabilitas kekuasaan adalah hukum yang baik dan angkatan bersenjata yang baik pula. Namun Machiavelli menekankan bahwa tidak akan ada sistem hukum yang baik, kalau tidak dibangun dulu angkatan bersenjata yang baik, karena angkatan bersenjata yang baik akan menjamin sistem hukum yang baik pula. Pemilikan suatu kekuatan angkatan bersenjata yang tangguh dan berdisiplin mutlak perlu untuk menjamin berlangsungnya kemerdekaan suatu negara. Kegiatan militer yang baik dan berdisiplin menjamin keefektifan suatu perjuangan negara. Karena itu boleh dikatakan bahwa tumpuan perjuangan politik terletak pada senjata dan senjata merupakan sesuatu yang suci dalam perjuangan politik. Dalam rangka pertahanan dan keamanan suatu negara, sang penguasa dapat memanfaatkan jasa tentara asing, tentara bayaran. Menurut Machiavelli, pemanfaatan tentara bayaran dan tentara asing tidak efektif bahkan membahayakan eksistensi suatu negara. Stabilitas politik tidak akan tercapai dengan bantuan tentara asing dan tentara bayaran. Machiavelli mengusulkan dibentuk organisasi militer secara baru. Pembaruan organisasi militer mencakup baik pemimpin-pemimpinnya maupun para anggota organisasinya. Organisasi militer itu harus merupakan orang pilihan dari rakyatnya sendiri.20 Salah satu warga negara ditunjuk oleh penguasa menjadi panglimanya. Kekuasaan panglima tentara harus dibatasi oleh undangundang, supaya kebijaksanaannya tidak menyimpang dari 19 Frederick Mayer. apa yang dikehendaki oleh kepala negara. Panglima harus memiliki vitalitas yang tinggi sehingga mampu menyebarkan vitalitasnya kepada anggota tentara yang lain dan pada gilirannya angkatan bersenjata yang memiliki vitalitas akan menularkan semangat itu kepada masyarakat luas, sehingga akhirnya seluruh lapisan masyarakat meningkat vitalitasnya. Masyarakat dengan vitalitas tinggi mampu mempertahankan keamanan dan serangan dari lawan-lawannya. Dalam rangka meningkatkan vitalitas masyarakat secara keseluruhan, ahli propaganda akan memanfaatkan patriotisme sebagai instrumen untuk mencapai tujuan. Patriotisme dapat ditingkatkan menjadi sejenis "agama baru". Sang penguasa dapat memanfaatkan patriotisme sebagai kedok untuk berdalih tentang tindakan-tindakan politis yang kontroversial dan dengan demikian rakyat dapat dibohongi. Misalnya, seorang penguasa yang membunuh bekas rekan seperjuangan karena kepentingan ekonomi, maka sang penguasa itu dapat berhadapan dengan amukan massa yang tidak setuju dengan motivasi tindakan itu. Tetapi sebaliknya sang penguasa dapat mengatakan kepadarakyatnya bahwa dia mengamankan rekan seperjuangan itu sebagai tindakan menyelamatkan eksistensi negara, maka tindakan yang sama menyebabkan rakyat menganggap dia sebagai pahlawan bangsa. Dengan memanfaatkan patriotisme, kesatuan negara dapat dikelola dan dipelihara.
Machiavelli menunjukkan apa yang mungkin berada di balik slogan patriotisme, yakni cara-cara sang penguasa untuk membangkitkan semangat rakyat/massa, yang memang tidak seluruhnya mampu memahami secara mendalam kompleksitas isu-isu politik dan ekonomi negara. Patriotisme membantu menyederhanakan kerumitan persoalan, memulihkan perbedaan pendapat dan pertentangan pendapat tentang isuisu yang sudah dilontarkan dan kemudian meniup rasa kebenaran dan rasa kepastian bagi orang-orang yang berpikiran sederhana dan biasa. Dari pengalaman Machiavelli sebagai penasihat bidang pertahanan dan keamanan negara Florence, dia memperkenalkan masalah-masalah kemiliteran yang baru. Dia menyarankan kepada sang penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaan untuk mengembangkan suatu doktrin militer yang disesuaikan dengan keyakinan politisnya, yakni suatu lembaga kemiliteran yang berkuasa dan berdisiplin merupakan suatu syarat mutlak untuk memelihara kemerdekaan politik. Selain lembaga kemiliteran, Machiavelli juga memperkenalkan doktrin konskripsi atau wajib militer bagi semua warga negara dalam situasi darurat perang. Lembaga pertahanan militer adalah bagian mutlak dari mesin kekuasaan negara. Wajib militer untuk rakyat sendiri lebih efektif daripada tentara bayaran, juga untuk melindungi dan mempertahankan keamanan dalam negeri. Tentara yang berasal dari rakyat dalam membela negara akan bertempur mati-matian, terutama bila mereka mampu diyakinkan oleh doktrin perjuangan bahwa pemenang perang akan menentukan nasib bangsa dan negaranya di masa depan. Dengan demikian Machiavelli juga memberi sumbangan pemikiran untuk perkembangan ilmu kemiliteran modern.
Sikapnya Terhadap Agama
Metode kerja gerakan humanis pada masa itu adalah menoleh ke masa silam untuk melontar pandangan ke depan. Dalam pekerjaan para pernahat dan pematung, pada mulanya mereka mempelajari patung-patung antik, lalu mereka meniru kembali hasil karya seniman-seniman Romawi antik, akhirnya mereka menghasilkan kembali 21 Frederick Mayer, hlm. 35. patung-patung yang mirip dengan karya antik tetapi menjelma menjadi hasil kreasi baru. Dengan cara yang sama metode kerja ini diterapkan oleh Machiavelli untuk mempelajari perkembangan dan praktek politik dan militer Kekaisaran Romawi. Dengan memahami pola kerja di masa silam, dapat dibangun kembali pola-pola politik dan kemiliteran yang mirip seperti yang ada di masa silam untuk diterapkan dalam langkahlangkah operasional membangun kembali negara Italia yang besar seperti Kekaisaran Romawi dahulu. Apa yang menarik dari pelajaran masa silam Kekaisaran Romawi adalah peranan agama kuno Romawi yang mengendalikan kehidupan masyarakat dan memberi inspirasi bagi pasukan tentara Romawi. Machiavelli tidak tertarik pada masalah apakah agama Romawi itu benar atau salah. Masalah ini jauh dari perhatian Machiavelli. Yang menarik perhatian pada agama antik itu adalah bahwa agama Romawi kuno memuliakan tindakan manusia. Agama kuno itu berpihak pada manusia yang penuh aksi. Machiavelli memuji tindakan Romulus, dalam mitos agama kuno Romawi, yang terpaksa membunuh Romus, saudara kembarnya, demi merebut serta mempertahankan kekuasaan dan stabilitas negara itu. Manusia aksi seperti Romulus dengan karakter yang kuat dan mampu untuk meraih apa yang dicita-citakannya; mampu mencapai kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan selama mungkin. Manusia aksi, yang pada dasarnya egoistis, tetapi memiliki hati nurani yang tidak skrupel, ragu-ragu, manusia semacam itu yang ditunjang dan didukung oleh praktek beragama.


Previous
Next Post »